Kamis, 04 Maret 2010

syirkah

KERJASAMA DALAM EKONOMI SYARIAH ISLAM

A. PENDAHULUAN
Dalam masyarakat arab jahiliyah sudah dikenal adanya kerjasama dalam lapangan ekonomi, baik kerjasama yang bersifat produktif maupun berbentuk kerjasama dalam pemilikan sesuatu secara bersama oleh dua orang atau beberapa orang.
Kerjasama dalam bahasa arab disebut juga syirkah.Syirkah dalam fiqh islam ada beberapa macam, diantaranya ada yang kembali kepada kepemilikan, atau yang sering disebut syirkah hak milik (syirkatul amlak). Dan ada juga yang kembali kepada perjanjiannya atau yang sering disebut syirkah transaksional (syirkatul ‘uqud)..
Dibawah ini kami akan membahas kedua syirkah tersebut beserta pandangan para ulama mengenai pengertian dan hukum disyari’atkannya syirkah-syirkah tersebut sekaligus kapan berakhirnya syirkah-syirkah tersebut.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian
Kata syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata Syarika (fi’il madli),yasyruku (fi’il mudlori’), Syarikan / Syirkatan / syarikatan (mashdar), yang artinya menjadi sekutu atau serikat ( Kamus Al Munawwir ), dan menurut bahasa arab asli artinya mencampurkan dua bagian atau lebih, sehingga tidak dapat dipisahkan antara bagian satu dengan bagian lainnya.
Sedangkan menurut syara’, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama dengan tujuan memperoleh keuntungan.

2. Dasar Hukum
Dasar hukum Al Qur’an mengenai syirkah adalah :

“ Jikalau saudara-saudara itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu “ ( QS. An Nisa’ : 12 ).

“ Dan sesungguhnya kebanyakan orang yang berkongsi itu sebagian dari mereka ada yang berbuat dzolim kepada yang lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih “ ( QS. Ash Shod : 24 ).

Sedangkan dasar hukum syirkah menurut hadits adalah, hadits qudsi yang diriwayatkan dari abu huroiroh bahwa Rasulullah telah bersabda “ Allah SWT. Telah berkata kepadaku : Menyertai dua pihak yang sedang berkongsi, selama salah satu dari keduanya tidak menghianati, jikalau salah satunya khianat maka saya keluar dari pernyataan tersebut “ ( HR. Abu Daud )

4. Rukun dan syarat syirkah
Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama’,menurut hanafiyah rukun Syirkah ada 2, yaitu,ijab dan qobul(akad) yang menentukan adanya syirkah.Adapun yang lain seperti adanya 2 orang atau pihak yang berakad dan harta berada diluar pembahasan akad.
Akan tetapi abdur rahman aljaziri menjelaskan bahwa rukun Syirkah ada 3, yaitu :

1. Dua transaktor
Keduanya harus memiliki kompetensi, yakni aqil baligh dan mempunyai pilihan.
2. Objek transaksi
Objek transaksi itu meliputi modal, usaha, dan keuntungan.

Pertama, Modal : disyaratkan dalam modal tersebut hal-hal berikut :

- Harus diketahui. Kalau tidak diketahui jumlahnya, hanya spekulatif tidak shah. Karena modal itu menjadi rujukan ketika aliansi dibubarkan. Dan hal itu tidak mungkin dilakukuan tanpa mengetahui jumlah modal.

- Hendaknya modal itu riil. Yakni ada pada saat transaksi pembelian. Karena dengan itulah aliansi ini bisa terlaksana, sehingga eksistensinya dibutuhkan. Kalau pada saat transaksi tidak ada, maka transaksi dianggap batal.

- Tidak merupakan hutang pada orang yang sedang kesulitan, demi untuk menghindari riba. Karena dalam hal ini orang yang berhutang bisa tertuduh menangguhkan pembayaran hutangnya agar bertambah nilainya. Atau orang memberi hutang telah tertuduh telah mengorbankan diri menuntut orang yang berhutang untuk menambah jumlah hutangnya karena telah dikembangkan.


Kedua, Usaha :

Adapun berhubungan dengan usaha, masing-masing pihak bebas mengoperasikan modalnya sebagimana layaknya para pedagang dan menurut kebiasaan yang berlaku diantara mereka. Kalau orang yang mengelola modal orang saja bebas mengelola hartanya, apalagi bisnis partner dalam usaha ini. Karena mengelola modal orang lain hanya merupakan syirkah praktis, bukan syirkah subtansial. Karena dalam kasus ini yang terjadi adalah syirkah praktis dan subtansial secara bersaman.

Masing-masing pihak yang beraliansi bisa menyerahkan usaha itu kepada orang lain, namun itu dijadikan syarat pada awal transaksi menurut pendapat ulama yang paling benar. Karena hak untuk mengelola harta dimiliki oleh mereka berdua. Namun masing-masing pihak juga bisa mengundurkan diri dari haknya tersebut untuk diberikan kepada orang lain, lalu menyerahkan operasionalnya kepada orang tersebut, sesuai dengan kepentingan yang ada.

Ketiga, Keuntungan :

Sehubungan dengan keuntungan itu, disyaratkan hal sebagai berikut :

- Harus diketahui jumlahnya. Kalau jumlahnya tidak diketahui syirkah tersebut dianggap rusak, kecuali terdapat kebiasaan setempat yang sudah merata yang membolehkan pembagian keuntungan dengan cara tertentu, hal itu boleh dilakukan.

- Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan prosentase tertentu. Kalau berupa jumlah uang tertentu saja, maka syirkah itu tidak shah. Karena ada kemungkinan aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu saja, sehingga tidak dibuktikan syirkah dala keuntungannya.

Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama mitra usaha. Tidak disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai dengan jumlah modal. Karena keuntungan selain juga ditentukan oleh modal, juga ditentukan oleh usaha. Terkadang diantara mereka ada yang memiliki keahlian lebih dari yang lain, sehingga tidak rela bila disamaratakan keuntungan mereka. Itu adalah pendapat yang dipilih oleh Hambaliyah dan Hanafiyah.

3. Pelafalan akad / perjanjian.
Perjanjian dapat terlaksana dengan adanya indikasi kearah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan, berdasarkan kaidah yang ada bahwa yang dijadikan ukuran adalah kaidah dan hakikt yang sebenarnya, bukan sekedar ucapan dan bentuk lahiriyahnya saja.

Mengenai Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh idris Ahmad berikut ini;

1. Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
2. Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil yag lainnya..
3. Mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainya.

5. Macam-macam syirkah dan hukumnya
Syirkah dalam islam ada beberapa macam, diantaranya ada yang kembali kepada kepemilikan, atau yang sering disebut syirkah hak milik (syirkatul amlak). Yakni persekutuan dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu barang kepemilikan. Contoh : jual beli, hibah, atau warisan.
Dan ada juga yang kembali kepada perjanjiannya atau yang sering disebut syirkah transaksional (syirkatul ‘uqud). Yakni akad bersama dua orang atau lebih yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.
Pandangan mazhab fiqh tentang syirkah transaksional berbeda-beda. Mazhab Hanafi berpandangan ada empat jenis syirkah yang syar’i, yaitu Syirkah Inan, Syirkah Abdan, Syirkah Mudharobah, Syirkah Wujuh. Menurut Mazhab Maliki ada 3 jenis syirkah yang shah, yaitu : Syirkah Inan, Syirkah Abdan, Syirkah Mudharobah. Menurut Syafi’i, Zahiriyyah dan Imamiyah ada 2 : Syirkah Inan, Syirkah Mudhorobah.. Mazhab Hanafi dan Zaidiyyah ada 5 jenis : Syirkah Inan, Syirkah Abdan, Syirkah Mudharobah, Syirkah Wujuh, dan Syirkah Mufawadhoh.
Akan tetapi disini kami akan mengulas kelima jenis syirkah transaksional tersebut.

a. Syirkah Inan
Syirkah Inan adalah persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu kerja sama 2 orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka, usaha yang menjalankan mereka, dan keuntungan juga dibagi bersama. Contoh : Khalid dan Faisal berkongsi menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan masing-masing mengeluarkan modal RM500.kemudian keuntungan dibagi berdua menurut kesepakatan.
Hukum Syirkah semacam ini berdasarkan ijma’ diperbolehkan, namun secara rincinya masih ada yang diperselisihkan.

b. Syirkah Abdan ( Syirkah Usaha )
Yakni kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang hanya melibatan tenaga (badan) mereka tanpa melibatkan perkongsian modal. Diantara contohnya : kesepakatan beberapa orang tenaga medis untuk mendirikan poliklinik dan menerima perawatan orang-orang sakit, masing-masing bekerja sesuai dengan kespesialisasinya, kemudian mereka akhirnya membagi keuntungan bersama. Syirkah ini dinamakan juga syirkah shana’i atau syirkah taqabbul atau syirkah syirkah amal.

Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang disyari’atkannya syirkah semacam ini : Mayoritas Ulama’ membolehkannya, yakni dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hambaliyah. Sedangkan Imam Syafi’i melarangnya.
Alasan pendapat mayoritas ulama adalah sebagai berikut : Riwayat Abu Ubaidah Ibnu Abdillah, dari ayahnya Abdullah bin Mas’ud diriwayatkan bahwa ia menceritakan “ Saya dan Sa’ad serta Ammar melakukan kerjasama pada hari Badar. Namun saya dan Ammar tidak memperoleh apa-apa, sementara Sa’ad memperoleh dua tawanan. Nabi membenarkan apa yang mereka lakukan. Imam Ahmad berkata, “ Nabi sendiri mengesahkan kerjasama / syirkah yang mereka lakukan”.

Alasan yang diambil Imam Syafi’i adalah bahwa syirkah itu dilakukan tanpa modal harta sehingga tidak akan mencapai tujuannya, yakni keuntungan. Karena syirkah dalam keuntungan itu dibangun atas syirkah dalam modal. Sementara modal disini tidak ada, maka syirkah ini tidak shah.

Namun alasan Imam Syafi’i disini dibantah dengan alasan lain, bahwa tujuan syirkah adalah untuk memperoleh keuntungan dengan syirkah tersebut. Tidak hanya didasari dengan modal harta, namun juga dibolehkan dengan modal kerja saja,

c. Syirkah Mudhorobah.
Yaitu Syirkah yang dilakukan dua orang atau lebih, yang satu yang menjalankan kerja dan yang satu menanamkan modal. Kerja sama ini dibolehkan berdasarkan ijma’ ulama’ kaum muslimin. Istilah syirkah mudlorobah dipakai oleh ulama’irak,sedangkan ulama’ hijaz menyebutnya Qiradl.Contoh : Ali sebagai pemilik modal, memberikan modal sebanyak RM 100 kepada Abas yang bertindak sebagai pengelola modal dalam pasaraya ikan.

Ada 2 bentuk lain sebagai variasi bentuk syirkah mudhorobah. Pertama, 2 pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan modal, sementara pihak ketiga ( si C ) yang menjalankan usaha tersebut.
Yang Kedua, pihak pertama (Si A) mengeluarkan modal sekaligus yang menjalankan usaha, sementara pihak kedua ( Si B, dan C ) hanya memberikan modal saja, tanpa kontribusi kerja. Kedua bentuk syirkah tersebut masih tergolong bentuk syirkah Mudharobah. Hak melakukan tasharuf menjadi hak pengelola. Pemodal tidak berhak ikut campur dalam tasharuf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pihak pemodal dengan pengelola, sedangkan kerugian hanya ditanggung oleh pihak pemodal. Sebab, dalam mudhorobah berlaku wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya. Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

d. Syirkah Wujuh
Yakni kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dalam apa yang mereka beli dengan nama baik mereka. Tak seorang pun memiliki modal, namun masing-masing memiliki nama baik ditengah masyarakat. Mereka membeli sesuatu (untuk dijual kembali) secara hutang, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama. Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh) seseorang ditengah masyarakat.
Syirkah semacam ini diperbolehkan secara mutlak.menurut kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, namun tidak menurut kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah melarang sebagian bentuk aplikatipnya,namun membolehkan sebagian bentuk lainnya.Mereka membolehkan kalau kedua belah pihak trsebut sepakat membeli satu komoditi yang sama,mereka melarang apabila masing-masing berhak terhadap apa yang dibeli oleh mitra bisnis kerja sama mereka dengan dengan nama baiknya sendiri secara mutlak.
Alasan mereka yag membolehkannya secara mutlak adalah karena syirkah itu mengandung unsur memebeli dengan pembayaran tertunda, serta untuk memberikan penjaminan kepada pihak lain untuk berjual beli, dan keduanya dibolehkan. Karena umumnya manusia telah terbiasa melakukan perjanjian kerja sama usha tersebut diberbagai tempat tanpa pernah dibantah oleh ulama’ manapun.
Pada hakikatnya syirkah semacam ini termasuk syirkah mudhobaroh, sehingga berlaku ketentuan mudhobaroh didalamnya. Bentuk kedua dari syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih dalam bentuk barang yang mereka beli secara kredit, atas kepercayaan dari pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak. Contoh : si A dan B adalah tokoh yang dipercayai oleh pedagang. Lalu mereka membeli barang secara kredit dari pedagang (misalnya C). A dan B sepakat masing–masing memiliki 50% dari barang yang mereka beli. Lalu keduanya menjual barang tersebut, dan keuntungannya dibagi dua. Sedangkan harga pokok dikembalikan kepada pedagang (C). Dalam syirkah kedua ini keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah abdan. Namun demikian An Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah ini adalah kepercayaan kewenangan (Tsiqoh Maliyah), bukan semata-mata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu syirkah ini tidak shah apabila dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar) yang dikenal tidak jujur atau suka mengingkari janji. Sebaliknya syirkah ini shah dilakukun oleh orang biasa, tapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan yang tinggi misalnya terkenal jujur dan tepat janji dalam urusan kewenangan.


e. Syirkah Mufawadhoh
Al Mufawadhoh adalah syirkah anatara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah diatas ( syirkah Inan, Abdan, Mudhorobah, dan Wujuh)
Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang alasan mengapa syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhoh.
Ada pendapat bahwa itu dari kata tawfied yang artinya penyerahan. Karena masing-masing menyerahkan kepada mitranya untuk melakukan seluruh operasional dagangnya. Ada juga berpendapat itu diambil dari kata istifadhoh yang artinya menyebar. Karena syirkah ini ditegakkan diatas dasar penyebaran dan expos seluruh aktifitas.
Sementara kalangan Hanafiyah menyatakan bahwa arti mufawadhoh adalah penyamaan. Maka dari itu syarat shahnya kerjasama itu adalah kesamaan modal, aktifitas dan hutang piutang. Namun pendapat ini lemah. Yang tepat adalah yang pertama.

Disyaratkannya syirkah ini
Para ulama kembali berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini : kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hambaliyah membolehkannya. Sedangkan Imam Syafi’i melarangnya.
Pendapat mayoritas ulama’ sebagai berikut :
- Karena syirkah ini menggabungkan beberapa macam syirkah yang masing-masing dari syirkah itu dibolehkan secara terpisah, maka demikian pula hukumnya bila dikombinasikan.
- Karena masyarakat diberbagai macam tempat dan masa telah terbiasa melakukan syirkah semacam ini tanpa ada pula ulama yang menyalahkan.
Sementara alasan Imam Syafi’i melarangnya dalah sebagai berikut : karena syirkah ini sebentuk perjanjian usaha yang mengandung penjaminan terhadap segala jenis hal yang tidak diketahui, dan juga jaminan terhadap sesuatu jenis hal yang tidak diketahui. Keduanya sama-sama rusak ketika terpisah, apalagi digabungkan.
Dalil yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i ini dibantah bahwa hal yang tidak diketahui itu dimaafkan karena timbul sebagai konsekuensi. Sebuah aktifitas terkadang shah bila merupakan konsekuensi, tapi tidak shah bila merupakan tujuan, seperti halnya syirkah inan dan penanaman modal. Masing-masing syirkah itu juga mengandung penjaminan terhadap dalam pembelian sesuatu yang tidak diketahui, namun keduanya diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama’.

Syarat-syarat syirkah mufawadhoh
Kalangan Hambaliyah menetapkan syarat shahnya syirkah ini bahwa tidak boleh dimasukkan kedalamnya berbagai hasil sampingan dan denda-denda. Kalau keduanya dimasukkan kedalam perjanjian, syirkah itu batal, karena ada unsur manipulasi. Karena masing-masing akan menanggung kewajiban yang lain. Bisa jadi ia menanggung yang tidak mampu ia lakukan, apalagi itu merupakan perjanjian yang tidak ada contoh yang menyerupai dalam acara syari’at.

Sementara kalangan Hanafiyah memberikan syarat bagi shahnya sebagai berikut :

1. Kesamaan modal, aktifitas dan keuntungan. Maka harus dibuktikan dulu kesamaan dari awal sampai akhir dalam beberapa hal tersebut. Karena menurut mereka Al Muwafadhoh sendiri artinya adalah penyamaan. Kalau kesamaan itu tidak dimiliki salah satu pihak, maka syirkahnya akan batal.

2. Keumuman dalam syirkah. Yakni diberlakukan dalam semua jenis jual beli. Jangan sampai salah satu dari mereka melakukan jual beli yang tidak dilakukan poihak lain.

3. Agar salah satu pihak yang terlibat tidak memiliki saham dalam syirkah lain, dan tidak juga ikut dalam perjanjian syirkah lain, karena hal itu menyebabkan ketidaksamaan.

4. Hendaknya melakukan dengan pelafalan mufawadhoh. Karena mufawadhoh mengandung banyak persyaratan yang bisa digabungkan dalam pelafalan itu, atau dengan cara pengungkapan lain yang bisa mewakilinya. Namun jarang sekali masyarakat awam yang memahami hal itu.

Demikianlah. Berkurangnya dari salah satu dari persyaratan ini menyebabkan syirkah ini berubah menjadi syirkah inan menurut kalangan Hanafiyah. Karena syirkah ini sudah mengandung unsur syirkah inan, bahkan lebih dari itu. Batalnya syirkah mufawadhoh, tidak berarti syirkah itu batal dengan syirkah inan, karena syirkah inan tidak membutuhkan syarat-syarat tersebut.

Satu hal yang perlu diingat, bahwa kalangan Malikiyah dan Hambaliyah tidak menganggap kesamaan dalam modal dan keuntungan dalam syarat syirkah ini. mereka membolehkan adanya perbedsaan dalam kedua hal itu, sebagaimana halnya syirkah inan.
contoh : A adalah pemodal, menyumbang modal kepada B dan C (dua jurutera awam yang sebelumnya telah sepakat masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awlnya yang ada adalah syirkah abdan yaitu B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan konstribusi kerja sahaja. Lalu ketika A meberikan modal kepada B dan C, berarti diantara mereka bertiga wujud syirkah mudhorobah. Disini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan suntikan modal disamping melakukan kerja, berarti terwujud syirkah inan diantara B dan C. ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara B dan C. Dengan demikian bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah muwafadhoh.

6. BERAKHIRNYA SYIRKAH
Syirkah akan berakhir apabila tarjadi hal-hal berikut :
1. Salah satu pihak membatalkan meskipun tanpa persetujuan pihak lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukan pencabutan kerelaan syirkah oleh satu pihak.

2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelolah harta), baik karena gila atau alasan lainnya.

3. Salah satu pihak meninggal dunia, apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.

4. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun karena sebab yang lainnya.

5. Karena salah satu pihak bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut ini tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.

6. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi pencampuran harta hingga tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemilik-pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi pencampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih terus berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.

C. KESIMPULAN
Syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerjasama dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Dasar hukum syirkah adalah surat An Nisa’ ayat 12 dan surat As Shad ayat 24 dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh.
Rukun-rukun syirkah ada 3 :
1. Akad (ijab qobul),
2. Dua pihak yang berakad harus memiliki kecakapan melakukan pengelolaan harta,
3. Objek akad (modal).

Mengenai Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh idris Ahmad berikut ini;

1. Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
2. Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya..
3. Mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainya.


Macam-macam syirkah ada 5
1. Syirkah Inan
2. Syirkah Abdan
3. Syirkah Wujuh
4. Syirkah Muwafadhoh
5. Syirkah Mudhorobah
Ada beberapahal yang dapat membatalkan Syikah, diantaranya adalah:
1. Salah satu pihak membatalkan meskipun tanpa persetujuan pihak lainnya.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelolah harta), baik karena gila atau alasan lainnya.
3. Salah satu pihak meninggal dunia, apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja.
4. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan
5. Karena salah satu pihak bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah.
6. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila

D. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan kami mohon maaf, akhir kata semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiiiiin.


D. REFERENSI

o Drs. Helmi karim, M.A., Fiqh Muamalah, PT. Raja grafindo persada, Jakarta, 1993
o Muhammad, system dan prosedur operasional Bank syari’ah, UII press Yogyakarta 2000
o Prof. DR. Abdullah Al Muslih, Prof. DR. Sholah As Showi, Fiqh ekonomi keuangan islam, Darul Haq, Jakarta 2004
o http://id.wikipedia.org/wiki/Musyarokah
o Dr. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqih Muamalah, PT. Raja grafindo persada, Jakarta, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar