Kamis, 04 Maret 2010

sertifikasi dan profesionalisme guru


SERTIFIKASI DAN PROFESIONALISME GURU


I.       PENDAHULUAN
Wacana tentang profesionalisme guru kini menjadi sesuatu yang mengemuka keruang publik seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Guru dianggap menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam wacana meningkatkan mutu pendidikan dan mencetak sumberdaya manusia yang berkualitas, karena guru merupakan barisan terdepan yang berhubungan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik hanya bisa dicapai oleh guru yang professional dengan segala kompetensi yang dimilikinya.
Guru sebagai tenaga professional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya bisa dilaksanakan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidikan. Untuk memenuhi kebutuhan guru yang professional maka pemerintah menyelenggarakan uji kompetensi bagi para guru dengan sertifikasi, baik unsur guru yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun guru swasta. Bagi guru yang telah memiliki sertifikasi profesi diberikan tunjangan professional yang diambilkan dari anggaran pendidikan diluar gaji pokok dan tunjangan-tunjangan lainnya.

II.               PEMBAHASAN
Terpuruknya kondisi pendidikan di Indonesia mendorong pemerintah untuk terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan menaikkan stsndar lulusan pada satuan pendidikan melalui Ujian Akhir Nasional (UAN). Selanjutnya, pada tahun 2007 lalu, untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi guru yang pada akhirnya juga akan menngkatkan mutu pendidikan, pemerintah Indonesia mencoba membuat kebijakan sertifikasi guru. Dengan sertifikat profesi yang diperoleh melalui uji sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru, maka seorang guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar satu bulan gaji pokok. Sertifikasi adalah upaya untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka.
Minimnya kesejahteraan guru secara tidak langsung akan mempengaruhi proses kegiatan belajar mengajar. Kesejahteraan yang minim bisa mengakibatkan konsentrasi guru menjadi terpecah-pecah. Disatu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Disisi lain, sebagai efek dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut untuk memenuhi kesejahteraan dirinya dan keluarganya.
Dalam praktiknya, seorang guru seringkali lebih banyak berjibaku (baca;berkonsentrasi) dengan usahanya dalam rangka memenuhi kesjahteraan keluarganya. Atau bahkan ketika melaksanakan proses pendidikan, yang terbayang dalam benak guru adalah bagaimana guru bisa dengan cepat menyelesaikan target studi yang telah dirancang, setelah itu guru bisa beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan pendapatan karena kesejahteraannya yang minim. Dan akhirnya, seiring dengan  berjalannya waktu, sisi peningkatan kualitas akademis menjadi terabaikan dan terpinggirkan. Ironisnya lagi, praktek yang demikian masih berlangsung sampai sekarang.
Kebijakan sertifikasi yang digagas pemerintah sedikit memberi gambaran bagi awam bahwa penjaminan kesejahteraan akan meningkatkan produktifitas dan efisiensi dalam melakukan pekerjaan sebagai guru, dan akhirnyap muncul output, lulusan yang berkualitas dan mampu mengangkat derajat bangsa dimata dunia.
Persoalannya sekarang, bagaimana persepsi guru terhadap uji sertifikasi? Bagaimana pula kesiapan guru untuk menghadapi pelaksanaan sertifikasi tersebut? Adakah suatu garansi bahwa dengan memiliki sertifikat, guru akan lebih bermutu? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang akan muncul. Analisis terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut mesti dikritisi sebagai sebuah umpan balik bagi pencapaian tujuan dan hakekat pelaksanaan uji sertifikasi itu sendiri.
Pengalaman di lapangan menunjukkan, bahwa dimata guru uji sertifikasi merupakan sebuah revolusi besar bagi peningkatan gaji guru. padahal uji sertifikasi merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan di Indonesia. Miskonsepsi semacam ini, pada akhirnya bisa menjadi penyebab guru  menghalalkan segala cara dalam membuat portofolionya dengan memalsukan dokumen prestasi atau kinerjanya.
Dengan iming-iming ekonomis, pelaksanaan sertifikasi menimbulkan beberapa permasalahan baru yang cukup pelik. Peserta sertifikasi berupaya mendapatkan nilai tinggi dengan mengumpulkan beberapa lembar surat keterangan. Guru akan mencari-cari bukti otentik  yang menunjukkan bahwa mereka juga aktif dalam kegiatan diluar kegiatan pembelajaran. Potensi kecurangan sangatlah besar. Lembaran-lembaran tersebut bisa jadi  hanyalah bersifat fiktif belaka. Karakteristik orang Indonesia dengan budaya ewuh pakewuhnya, menjadikan pencarian  lembaran ber-kop ini sangatlah mudah. Lebih lanjut, bukti tertulis yang telah terkumpul menjadi sulit untuk diverifikasi.
Sertifikasi menjebak guru dalam lingkaran kompetensi administrasi yang penuh dengan manipulasi. Guru calon peserta sertifikasi akan selalu berkutat pada kegiatan-kegiatn yang bersifat normative dan bukan lagi pada kegiatan yang berguna bagi pengembangan metode pembelajaran dikelas. Guru akan terus berusaha  mengumpulkan portofolio dan bukan berusaha mengembangkan diri untuk kegiatan pembelajaran  yang bermutu. Bahkan yang lebih ekstrim, para guru tersebut rela meninggalkan jam sekolah demi mengurus segala keperluan guna mengikuti uji sertifikasi.
Uji sertifikasi bagi guru hendaknya dipahami sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan, yaitu kualitas guru. sertifikasi bukanlah tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman yang benar tentang hakekat sertifikasi akan melahirkan aktifitas yang benar dan elegan, bahwa apapun yang dilakukan adalah guna mencapai kualitas. Kalau seorang guru terpaksa masuk kampus untuk keperluan kualifikasi, maka proses belajar kembali itu mesti dimaknai dalam konteks peningkatan kualifikasi akademis, yaitu mendapatkan tambahan ilmu dan keterampilan baru. Adapun ijazah S1 bukanlah tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk dengan praktek jual beli ijazah, melainkan konsekuensi dari belajar dan telah mendapatkan ilmu dan keterampilan baru.
Demikian pula ketika seorang guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kemampuan guru. tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan dimaksud. Dengan menyadari hal ini, maka guru tidak akan mencari jalan pintas guna memperoleh sertifikat profesi kecuali dengan mempersiapkan diri dengan belajar yang benar dan tekun berkinerja.
Profesi guru sangat identik dengan kegiatan belajar mengajar. Sudah seharusnya bukti seorang guru yang berkompeten adalah bagaimana dia merancang serta mengelola kegiatan pembelajaran. Semakin baik perencanaan serta pengelolaan pembelajaran, maka dapat dipastikan semakin baik pula kualitas produk-produk pendidikan yang telah dia kelola. Mestinya hal inilah yang dijadikan barometer untuk menentukan guru yang professional serta berkompeten, bukan lembaran kertas yang bias dengan mudah dimanipulasi.
Idealisme, semangat, dan kinerja tinggi disertai rasa tanggung jawab yang tinggi mesti menjadi cirri guru yang professional. Dengan kompetensi professional, guru akan bias tampil sebagai pembimbing, pelatih, dan manajer pembelajaran yang mampu berinteraksi dengan siswa dalam proses transfer pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang baik. Semangat untuk terus belajar, bukan hanya mengajar, akan membantu guru untuk selalu meng-upgrade pengetahuannya, sehingga dapat dapat menyiasati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peluang pemanfaatannya untuk memajukan proses belajar mengajar didalam kelas. Sertifikasi guru adalah amanat undang-undang bagi semua guru di Indonesia yang jumlahnya sekitar 2,8 juta baik negeri maupun swasta, jadi bukan sesuatu yang mesti diperebutkan oleh guru. semuanya akan kebagian, asalkan telah memenuhi persyaratan. Yang perlu menjadi perhatian kita adalah bagaimana kita meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kita, sehingga kita dapat meraih prestsi dan juga prestise dibidang pendidikan.


III.            PENUTUP
Salah satu kebijakan pemerintah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah dengan melaksanakan uji sertifikasi. Guru yang telah mendapat sertifikat akan mendapatkan tunjangan professional guna meningkatkan kesejahteraan guru. dengan kesejahteraan yang cukup diharapkan guru bisa lebih professional dalam menjalankan tugasnya, karena pikirannya bisa lebih  focus dalam mengembangkan diri guna meningkatkan kualitas pembelajarannya. Namun ternyata kebijakan ini belum bisa efektif, karena terjadi miskonsepsi antara guru dengan pemerintah. Guru menganggap sertifikasi sebagai suatu revolusi untuk peningkatan gaji, sedangkan pemerintah menilai sertifikasi sebagai sarana untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan bangsa. Dan akhirnya sertifikasi dan profesionalisme merupakan dua hal yang belum dapat disinkronkan.


IV.             DAFTAR BACAAN
 theordinary.wordpress.com, Sertifikasi ; profesionalisme guru Vs tunjangan professional
blog.sandyonline.net, Menjadi guru professional
www.ahmadheryawan.com/opini-media, Profesionalisme guru ditahun 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar